campur-campur
Manisnya Hidup, Tak Semanis Martabak Coklat
6:16:00 AM
Sabtu kemarin, yang juga long weekend, saya dan keluarga memilih
di rumah saja. Gak tahan dengan segala kemacetan di luar sana. Apalagi Bandung
sudah beberapa hari ini tidak turun hujan. Macet, panas, ah itu bisa membuat
emosional seseorang meningkat. Diam di rumah menjadi salah satu pilihan yang
tepat, sepertinya.
Sambil santai di rumah, membuka chat grup WA (WhatsApp) teman-teman sekolah dulu. Upps, saya tertegun. Hari
ini bahasannya membuat saya tercengang. Banyak kisah yang dimiliki teman-teman
masa sekolah dulu. Teman yang saya anggap perfect
di segala hal, memiliki kisah yang mengharukan dan mencengangkan. Memiliki
predikat nomor satu di kelas, mudah bersosialisasi, cerdas, dan berkecukupan
(itu yang saya nilai selama ini untuk teman yang saya anggap
"sempurna").
Ternyata apa yang selama ini saya
nilai, tidak semuanya benar. Dan semua yang teman saya dapat saat itu, tidak
semudah seperti membalikkan telapak tangan sendiri (iya lah, kalau membalikkan
telapak tangan Presiden, susah. Harus melalui paspampres. Itu pun kalau diijinkan). Halaah, apa sih? :D
Predikat yang mereka dapat sebagian
besar adalah atas keinginan orang tua. Orang tua mana, sih, yang tidak mau
anaknya menjadi sukses, berhasil, pintar, dan menjadi nomor satu? Tapi kadang
orang tua lebih terlihat memaksakan kehendak anaknya. Dan itulah yang dirasakan
beberapa teman saya. Dan imbasnya saat mereka besar sekarang.
![]() |
Pic by Google |
Setiap
anak memang kadang berbeda-beda dalam menanggapi sikap orang tuanya. Ada yang
merasa itu sebuah kekangan, ada juga yang menganggap sebagai motivasi. Tapi
orang tua suka lupa, kalau anak juga memiliki keinginannya sendiri dan mampu
untuk menjadi dirinya sendiri. Orang tua hanya mengarahkan saja ke arah yang
benar. Kesulitan ekonomi bisa menjadi salah satu pemicu orang tua untuk
menjadikan anak-anaknya jauh lebih baik dari mereka, sehingga mereka membabi
buta menginginkan anak-anak mereka menjadi
nomor satu. Gak semuanya, sih. Hanya sebagian saja. Kisah teman saya ini hanya
sebagian cerita kehidupan anak-anak yang merasa bertanggung jawab atas
keinginan orang tuanya. Sehingga ia merasa dirinya tidak sama dengan
teman-teman lainnya. Dan harus selalu menjadi nomor satu.
![]() |
Pic by Google |
Setelah membaca kisah teman-teman
saya, saya jadi merasa tersentil dengan pola pendidikan yang saya terapkan
untuk anak saya. Saya bersyukur, diberi anak yang memiliki kecerdasan di atas
rata-rata. Meski dalam soal belajar, saya dan suami harus terus mengingatkan.
Alhamdulillah, nilai yang diperoleh anak saya saat lulus SD begitu memuaskan
buat saya. Sekarang dia baru saja masuk SMP. Tapi, apakah anak saya merasakan hal yang sama dengan teman-teman
saya, yang memperoleh nilai yang bagus hanya untuk menyenangkan orang tuanya,
sedangkan dia sendiri merasa tertekan?
Entahlah. Sepertinya saya harus
melonggarkan cara didikan saya pada anak saya. Saya tidak ingin mereka
menyalahkan sikap orang tuanya saat besar nanti. Saya selalu tanamkan pada anak
saya, "Keberhasilan kamu itu untuk kamu, bukan siapa-siapa, juga bukan
untuk orang tua. Kalau pun orang tua bahagia melihat kamu berhasil, itu bonus
untuk orang tua dari kamu.”
Sabtu semakin sore, chat di WA grup sekolah semakin panjang. Tiba-tiba saja saya butuh cemilan untuk menemani sore saya dengan obrolan teman-teman di grup. Saya melipir sebentar ke dapur, membuat camilan yang cepat dan praktis.
Martabak manis mini menjadi pilihan
eksekusi saya sore ini. Kira-kira satu jam berlalu, martabak manis mini siap untuk disajikan (resepnya di sini). Saya mencomot satu
potong martabak dengan taburan susu kental, keju, dan meses, lalu mencicipinya.
Manis. Untuk gigitan kedua, manis juga. Lama-lama terasa giung. Lalu saya
menetralisirkannya dengan teh tawar hangat. Saat saya mengesap teh tawar
tersebut, pas! Rasa manis martabak mini tadi terasa pas disantap bersama teh
tawar hangat.
![]() |
Martabak Manis Mini |
Mungkin begitu juga hidup. Bila terus
merasakan manisnya hidup, akan terasa giung dan lama-lama enek. Pahitnya hidup
itulah yang memberikan warna pada hidup kita hingga menjadi rasa yang sempurna.
Jadi, jangan terkecoh dengan kehidupan orang lain yang kita anggap
sempurna/manis, bisa jadi mereka pun pernah mengalami kesulitan/pahit dalam
hidup mereka. *comot maratabaknya satu
lagi. :D
1 komentar
Setuju Mak, hidup tak selalu manis. harus ada pahit asemnya biar warna warni. Tapi kalo ga manis tinggal tambahi gula xixixi *ups
ReplyDelete